Salah satu contoh ganasnya abrasi pantai. Foto: ist |
Ada banyak cara seseorang dalam memaknai arti sebuah perjuangan. Tidak untuk hari ini, tapi juga nanti. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga menjadi orang yang terpelajar. Menutut ilmu, juga merupakan makna terapan bentuk penghormatan kepada pejuang. Memproklamasikan kemerdekaan, di zaman sekarang, tidah harus menghunus pedang di medan juang. Bagi mereka pegiat lingkungan,
“Walaupun sudah merdeka, kami tetap berjuang menyelamatkan pantai dari kepunahan,”.!!!
Jarum jam menunjukkan pukul 15;30 WIB di waktu Galaherang, Pesisir Laut Cina Selatan (LCS). Mengenakan baju kebesaran Mempawah Mangrove Conservation (MMC) tampak duduk tiga orang saling berhadapan, sembari menikmati seduhan kopi di kedai gerobak milik Bang Yar.
“Saya Fajar, ini Roni dan Yayan,” sebut Fajar mengenalkan mitra.
Raja Fajar Azansyah, begitu nama lengkapnya. Ia, bukan warga penduduk asli Mempawah, Kabupaten Pontianak. Melainkan, kelahiran Tanjung Pinang, Kepulauan Riau 36 tahun silam. Sejak tahun 2002, ia datang ke Kota Bestari, untuk mencari peruntungan. Sementara Roni seorang Desainer dan Yayan, asli kota berujulukan bestari.
Cuaca mendung, tidak selalu menandakan hujan. Perkenalan dibubui kehangatan secangkir kopi hitam bersambut riang. Di pelataran Kantor Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwista (Dishubbudpar) terparkir tiga kuda besi, yang siap pacu membelah jalanan kota Manambon, menuju lokasi pembibitan Bakau (Mangrove) di Desa Bakau Besar, tempat pembibitan Mangrove.
“Di tempat ini (Bakau Besar), sudah hampir 1 kilo lebih dalam beberapa tahun ini, pesisir pantai hilang, akibat abrasi,” kata Fajar, memperkirakan kerusakan pantai di pesisir Mempawah. Sementara kedua rekannya, tampak sibuk memperbaiki gubuk mangrove.
Maklum, ada banyak hewan peliaraan warga setempat dengan bebas berkeliaran di area pembibitan bakau. Jika tidak dipagar dan diatapi, bisa jadi sebelum siap tanam, bibit itu daunnya habis di makan kambing. Selain mengamankan bibit, lokasi itu juga dipagar menggunakan bekas jermal dan jaring yang sudah tak terpakai. Sementara jarak dari pantai hingga pagar, kurang lebih 500 meter itu sebagian sudah tertanam bakau, meski usianya baru dua tahunan.
“Terkadang sedih, kalau lihat kondisi pesisir seperti ini,” ujar Fajar penuh pengharapan. Tatapan kosong seketika membayangkan pantai yang terkena abrasi seperti ini. Sementara jiwanya, penuh dengan semangat berjuang, ingin menyelamatkan keadaan ini, dengan menanam kembali mangrove.
Beginilah kondisi wilayah pesisir akibat abrasi pantai. Foto: ist |
Tentu saja, keinginan untuk menahan laju abrasi bukan hal yang mudah diwujudkan. Apalagi, tidak semua masyarakat mempunyai tujuan yang sama. Bukan hanya itu saja, awal ketertarikannya menggeluti tanaman unik ini, juga mendapatkan larangan dari keluarganya, juga masyarakat sekitar. Mereka masih beranggapan, tidak ada untungnya menanam mangrove, tidak membuahkan hasil.
“Dulu sempat ada penolakan dari Istri saya, sempat juga bertengkar. Tapi setelah saya kasih pemahaman, lambat laun ia bisa faham,” ujar Fajar.
Ketekatannya bulat. Meski sebelumnya ia mendapatkan penolakan dari keluarga dan tetangganya, lantas tidak membuatnya ciut. Ia pun berinisiatif untuk menamam bakau, dengan pemahaman terbatasnya, soal tanaman unik itu. Hasilnya, ia gagal.
“Pernah tanam dulu, sering gagal. Soalnya, kurang tau cara nanam yang baik dan benar,” ungkapnya.
Tidak mau terus menerus menoreh kegagalan, Fajar berinisiatif mendalami cara hidup spesies tanaman Bakau (Rhizophora), dilakukan Fajar dengan cara ototidak; mencari literature melalui internet dari situs-situs lingkungan, yang konsen terhadap pohon Mangrove.
Diungkapkannya, setelah mendapatkan bahan itu, lalu ia perbanyak, kemudian dibagikan kepada rekan se Visi-misi dengannya, Roni dan Yayan. “Awalnya, saya sendiri hingga akhirnya, rekan saya itu, memantapkan hati untuk berjuang bersama, di jalur ini,” terangnya.
Sejak saat itu, Fajar tidak sendirian. Ada pejuang lingkungan lain, yang tergerak hatinya, untuk melakukan konservasi Mangrove.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi Fakultas kehutanan IPB (1999) luas hutan mangrove Kalbar adalah ±472.385,80 Ha. Terdiri dari gabungan kabupaten Sambas dan Bengkayang 183.777,68 ha (38,9% dari total luas mangrove kalbar) dengan kerusakan 25,86%, gabungan Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya adalah 178.845,14 ha (37.86% dari luas mangrove kalbar dengan kerusakan mencapai 80,76%. Berdasarkan data IPB (1999) diatas setidaknya 44,36 % hutan mangrove kalbar telah rusak baik berat maupun ringan.
Bahkan menurut pengamatan Gapsel (2011) setidaknya dalam 25 tahun telah terjadi abrasi sepanjang 5 km di daerah sungai duri sehingga pemukiman warga telah menjadi laut dan harus berpindah lokasi. Dan saat ini sepanjang 193 km jalan raya utama antar kota (Pontianak, Mempawah, Singkawang, Sambas) terancam abrasi dan pasang air laut. Sehingga terdapat beberapa ruas jalan yang sering mengalami banjir saat air laut pasang serta kerusakan badan jalan akibat tergerus air laut.
Kondisi itu, juga dibenarkan oleh Ketua Karangtaruna Desa Sungai Duri I Reza Herlambang, yang juga pegiat lingkungan belum lama ini. Ia menjelaskan, kondisi pesisir utara antara Kabupaten Pontianak sampai Bengkayang, pantainya kritis akibat abrasi.
“Dalam 20 tahun, sudah beberapa kilometer habis. Padahal dulu ada sawah, sekolahan, rumah penduduk. Ketebalan pantai hilang satu kilo,” tegas Reza
Meski dari Pemerintah Daerah sudah membangun barau penahan ombak, namun itu dirasa belum cukup mampu. Apalgi, jika dimusim pasang, air akan berada diatas barau. “Apalagi, di Desa ini, wilayah pantainya, berhadapan dengan lautan lepas, kalau di daerah kepulauan Bengkayang, ada dilindungi oleh pulau. Kalau ditempat kami, abrasinya lebih parah. Soalnya langsung berhadapan dengan laut cina selatan,” tambahnya.
Kerusakan pantai akibat abrasi ini, menurut Suryani, Kepala Desa Sungai Duri I itu mengungkapkan, bahwasanya tahun 1986 silam, ada sebuah lapangan bola mini di pesisir pantai di Desanya. Namun sekarang sudah tidak ada lagi, lantaran tergerus ombak. “Tak hanya itu, ada banyak pemukiman penduduk serta ladangnya, juga turut lenyap akibat abrasi ini,” kisahnya.
Hari menjelang petang, tiga pejuang lingkungan sesekali tangannya masih bergulat dengan lumpur. Maklum saja, rencananya tanggal 24 Agustus ini, akan dilakukan kegiatan penanaman Mangrove dari sejumlah pemuda peduli lingkungan. Tentu saja, segala sesuatunya harus dipersiapkan. Termasuk, memastikan keselamatan 1000 lebih bibit siap tanam itu, tidak dirusak kambing yang berkeliaran.
“11.000 bibit Alhamdulillah sudah mulai bertunas dan siap di tanam 24 Agustus mendatang, di Desa Sungai Bakau Kecil.,” kata Fajar.
Gubuk mangrove. Foto: ist |
Bibit yang siap tanam itu, diantaranya hasil dari membeli. Lainnya, mengumpulkan dari tempat dimana ada persebaran jatuhnya buah mangrove. Dikatakan Fajar, hingga saat ini pihaknya belum pernah mendapatkan bantuan dari Pemda Kabupaten Pontianak. Namun, dari Pemprov Kalbar, dulunya pernah, dan bantuan bibit melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).
“Pemda sendiri, sebenarnya sudah peduli dengan lingkungan, terutama Mangrove. Dan itu, melalui dinasnya. Namun, masih kurang,” ungkap Fajar.
Lantas dari segi apa yang kurang?, menurut Fajar, bentuk kepedulian saja, tidak cukup dengan berkewajiban menanam. “Tapi juga menjaga, merawat, serta mengedukasi masyarakat pesisir. Itu yang masih kurang dilakukan pemerintah,” jawabnya.
Menurutnya, edukasi terhadap masyarakat perananya sangat diperlukan. Dimulai dari generasi anak-anak, pemuda hingga orangtua. Gunanya, untuk berkelanjutan. Jika tidak dari sekarang dimulai untuk itu, kita tanam bakau sebanyak-banyaknaya juga akan percuma. Kenapa!, karena masyarakat tidak diajarkan untuk menjaga dan merawatnya, sebagaimana fungsi dan keuntungan ekonomi bisa didapatkan dari kehidupan mangrove.
“Tentunya, ini perlu wujud dan komitmen kita bersama. Bagaimana kita bisa menjaga kelestarian lingkungan. Ada banyak manfaat mangrove, selain menjaga abrasi pantai, segi ekonomi jga dapat dirasakan” jelasnya.
Koordinator Site Paloh, WWF-Indonesia, Dwi Suprapti menjelaskan, dari pengamatan Gapsel (2011) setidaknya dalam 25 tahun telah terjadi abrasi sepanjang 5 km di daerah sungai duri sehingga pemukiman warga telah menjadi laut dan harus berpindah lokasi. Dan saat ini sepanjang 193 km jalan raya utama antar kota (Pontianak, Mempawah, Singkawang, Sambas) terancam abrasi dan pasang air laut.
“Untuk bisa hal itu, serta mencegahnya, menyelamatkannya, mangrove merupakan solusi yang paling tepat. Mangrove tidak hanya menyelamatkan kawasan pesisir pantai, tetapi juga bisa menumbuhkan daratan yang hilang,” kata Dwi Suprapti
Dari hasil pengamatannya, tingkat abrasi di sepanjang Pantura, sudah sangat memperihatinkan. Bahkan, dibeberapa titik tertentu, daratan sudah terkikis beberapa meter oleh ombak. Dengan ditanam Mangrove kembali kata Dwi, bisa membantu terjadinya proses pengendapan lumpur. “Dalam jumlah penyebaran bakau yang sudah berumur dewasa, bisa dapat membentengi kawasan pesisir pantai dari serbuan gelombang laut. Juga, berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar dan mengolah limbah beracun, serta penghasil O2 dan penyerap CO2,” jelas Dwi.
Sementara ditinjau dari fungsi ekonomik, kata Dwi, hutan mangrove dapat menghasilkan manfaat kayu dan non kayu yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat baik untuk kayu bakar, bahan makanan, kerajinan, obat-obatan maupun kepariwisataan berbasis mangrove.
Selain itu juga, beberapa manfaat keberadaan mangrove ini, juga langsung bisa dirasakan oleh kehidupan masyarakat sekitar. Mangrove, tempat dimana mencari rejeki, yang tak pernah habis. Ragam jenis komiditi perikanan, banyak hidup disana. Sehingga, ada banyak jenis ikan seperti kepiting, udang, kerang, serta ikan-ikan berukuran besar dikawasan tersebut
Seberapa besar perjuangan para pejuang lingkungan, tidak akan berhasil jika tidak dibarengin peran Pemerintahan. Berapa banyak Volunter Mempawah Mangrove Conversation, tidak akan lengkap jika tidak ada peran dari masyarakat. Begitu juga dengan keberadaan Peraturan Desa soal Konservasi bakau ini. Jika tidak digodok dari sekarang, 10 tahun kedepan, tentu pohon itu akan kembali hilang.
“Harapan kami satu. Ada Perdes yang mengatur soal mangrove,” harap Fajar.
Dengan adanya Perdes itu, kata Fajar, ini bisa menguatkan apa yang pegiat lingkungan perjuangankan. Setidaknya, untuk 20 tahun kedepan. Namun, tentu saja, upaya ini perlu dukungan semua instansi. Saat ini, pemerintah belum melirik hal ini.
“Padahal, regulasi mangrove sangat penting, untuk kelangsungan tanaman ini. Juga untuk menjaga hutan mangrove dan pesisir,” kata Fajar. “Dan ini, tidak hanya penting ditingkat desa. Ditingkat pemerintah juga harus memikirkannya,” jelasnya lagi.
Dalam regulasi itu nantinya, tentu saja ada larangan-larangan masyarakat dalam menebang Mangrove ini. Setidaknya, ada batasan, kalaupun ada yang ditebang. Begitu juga dengan sanksinya. Tentu hal ini, harus dibicarakan bersama. Diungkapkannya, beberapa Desa sudah dilakukan koordinasi terkait ini. Alhamdulillah, ketiganya ini, menyambut baik akan hal ini. Desa itu diantaranya, Bakau Besar, Bakau Kecil dan Desa Mendalok.
“Keinginan untuk Perdes itu ada. Akan tetapi, hanya sebatas itu. Seperti langkah prefentif saja, buat plang, dan larangan menebang. Untuk Perdesnya, belum. Semoga kedepan bisa digarap,” harapnya.
Sembari menanti Perdes Mangrove, perjuangan penyelamatan lingkungan, bagi mereka, tetap harus digalakkan. Bukan untuk hari ini, nanti, juga yang akan datang.
“Walaupun sudah merdeka, kami tetap berjuang menyelamatkan pantai dari kepunahan,” tegasnya.
Hutan mangrove desa Kahuku pulau Bangka, salah satu contoh keberadaan mangrove dapat mencegah dampak abrasi pantai. foto: Yuris Triawan |
Koordinator Site WWF Kalimantan Barat, Hermayani Putra mengatakan, Perdes Mangrove ini, dinilainya sangat baik. Tentunya, pembuatan ini, harus melibatkan partisipasi warga dan pemerintan desa setempat. Mulai dari penyusunan draft hingga sosialisasi.
“Tentunya, untuk memperkuat posisi Mangrove, masyarakat bisa lebih didorong dan bisa mengambil inisiatif untuk perdes ini,” katanya.
Dikatakannya, perdes penting dikawasan pesisir ini, tidak hanya mencakup pelestariannya saja. Akan tetapi bagaiaman keberlanjutan penghidupan ekonomi masyarakatnya. “Kami sangat mendukung baik upaya ini, untuk menyelamatkan pesisir pantai. Tentunya, harus melalui persetujuan masyarakat dan aparatur desanya,” tukasnya.
Sumber: artikel ini ditulis oleh Agus Pujianto dalam Green Kompasiana
Komentar
Posting Komentar